قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ١٦٢
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S Al-An’am : 162)
Amal dan ibadah seseorang akan mendapatkan pahala jika diniatkan hanya karena Allah SWT. Allah SWT memerintahkan melalui Al-Qur’an bahwa kita harus meniatkan segala kegiatan kita untuk Allah saja. Apapun kegiatan yang diniatkan untuk mencari ridho ilahi, maka ia akan berpahala. Akan tetapi sebaliknya, jika suatu ibadah diniatkan untuk mendapat perhatian dan pujian dari manusia, maka ia akan sia-sia dan tak memiliki nilai pahala.
Seringkali dalam melakukan suatu perbuatan kita tidak memikirkan alasan dibalik setiap apa yang kita lakukan. Dalam Islam, niat merupakan fondasi dari setiap perbuatan kita. Sebagaimana sabda Nabi SAW.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya : “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut mengingatkan bahwa keutamaan suatu tindakan tidak hanya diukur dari hasil yang terlihat melainkan juga dari niat yang menyertainya. Apapun kegiatan yang kita lakukan baik itu pekerjaan sehari-hari, belajar, membantu orang lain, atau bahkan bermain dapat berubah menjadi suatu amal ibadah jika diniatkan dengan tulus yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mengapa niat itu penting?
Dielaskan dalam suatu hadits bahwa niat lebih penting dari amalan itu sendiri. Hal ini dikarenakan posisi niat sebagai pembeda antara satu ibadah dengan pekerjaan biasa yang tak bernilai pahala. Seseorang yang membatu karena ingin mendapatkan pujian tentu tak sama dengan orang yang membatu karena ingin menggapai keridhoan Allah semata. Walaupun keduanya melakukan suatu tindakan yang sama, namun seorang yang membantu dengan alasan ingin dipuji tidak mendapat pahala sebagaimana seorang yang membantu ikhlas karena Allah SWT.
Dengan selalu meniatkan segala sesuatu karena Allah SWT, kita akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan batin. Tindakan kita akan penuh makna, dan setiap kesulitan akan dipadang sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, hati yang bersih dari tujuan duniawi akan lebih mudah menemukan jalan kebaikan dan ketenangan.
Syarat diterimanya amal ibadah
Suatu amal ibadah tidak serta merta pasti diterima oleh Allah SWT. Namun, sebelumnya perlu diingat bahwa syarat ini lebih dikhususkan untuk ibadah mahdhah. Ibadah mahdhah ialah ibadah yang tata caranya sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Berikut merupakan dua syarat diterimanya suatu amal ibadah.
1. Niat ikhlas karena Allah
Segala amal ibadah harus diniatkan karena Allah SWT. Seseorang yang beribadah hanya karena agar dipandang sebagai orang yang alim dimata manusia, maka ia tidak akan mendapat pahala dari amalan tersebut. Riya’ dan sum’ah merupakan sifat yang harus kita hindari karena dapat menyebabkan terkikisnya amalan yang kita lakukan atau bahkan menjadikan amalan kita sia-sia.
2. Sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW
Dalam menjalankan ibadah mahdhah harus didasari dengan adanya perintah dari Allah SWT dan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dalam suatu riwayat Rasulullah saw. mengatakan bahwa setiap amal ibadah yang tidak didasarkan pada hukum yang telah disyariatkan maka termasuk bid’ah.
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 20 dan Muslim, no. 1718]
Dalam riwayat Muslim, disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim, no. 1718]