Haji Wada adalah ibadah haji pertama dan terakhir Nabi Muhammad. Haji Wada terjadi pada tahun 10 Hijriah atau 632 Masehi. Pada Haji Wada, Nabi Muhammad menjalankan umrah dan haji sekaligus. Kata wada dalam bahasa Arab artinya perpisahan. Disebut demikian karena dalam ibadah haji ini Rasulullah menyampaikan pidato terakhirnya. Haji Wada menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah dalam Islam karena ritual-ritual haji yang dilakukan Nabi Muhammad pada saat itu menadi panutan umat muslim hingga sekarang.
Ketika kabar mengenai rencana Nabi Muhammad berhaji tersebar, umat Islam di Madinah dan sekitarnya bersemangat untuk mengikuti. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Haji Wada diikuti oleh sekitar 90.000 jemaah haji. Mereka sengaja datang ke Madinah setelah mendengar kabar Rasulullah akan berangkat menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan, tidak sedikit umat Islam yang bergabung dengan rombongan Nabi Muhammad menuju Mekkah.
Syekh Mushtafa as-Siba’i dalam As-Sirah an-Nabawiyah Durus wa ‘Ibar melaporkan total ada 114.000 umat Muslim dari Jazirah Arab dan sekitarnya yang turut serta dalam Haji Wada. Sementara Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiqul Makhtum melaporkan jumlah jemaah haji saat itu sebanyak 124.000 atau 140.000 orang. Perjalanan Haji Wada dimulai pada hari Sabtu, 25 Dzulqa’dah 10 Hijriah.
Di pagi hari yang cerah, empat hari sebelum akhir bulan Dzulqa’dah, beliau bersiap untuk berangkat. Dengan langkah tenang, beliau mengenakan ihramnya, dan memulai perjalanan menuju Makkah. Beliau berangkat bersama ribuan umat yang hendak menunaikan haji. Mereka semua ingin mengikuti jejak beliau, menapak tilas langkah kaki sang pemimpin, yang membawa mereka menuju pintu rahmat Allah. Perjalanan dimulai dari Dzulhulaifah, tempat pertama yang dilalui oleh Nabi SAW. Di sana, beliau berhenti dan melakukan salat, dan wahyu turun mengarahkan beliau untuk menggabungkan umrah dengan haji.
Nabi menyampaikan kepada para sahabat,
أتاني الليلة آت من ربي فقال: صل في هذا الوادي المبارك، وقل: عمرة في حجة
“Shalatlah kalian di lembah yang diberkahi ini, dan katakan: ‘Umrah dalam haji.’”
Setelah perjalanan yang penuh dengan doa dan dzikir, Nabi SAW akhirnya tiba di Makkah pada 4 Dzulhijjah. Umat yang beriman memadati kota ini untuk melaksanakan ibadah haji, dan mereka semua menyambut kedatangan sang nabi dengan penuh cinta dan kerinduan. Sesampainya di Makkah, Nabi ﷺ melakukan tawaf keliling Ka’bah. Setiap langkahnya mengingatkan umatnya akan pengorbanan yang telah beliau lakukan demi menyebarkan wahyu Allah. Walau demikian, beliau tetap dalam keadaan ihram, karena beliau melaksanakan haji dengan cara qiran, yaitu menggabungkan haji dan umrah dalam satu perjalanan.
Satu hal yang memikat perhatian umatnya adalah bagaimana Nabi SAW tidak hanya menjalani ibadah ini dengan penuh kesabaran, tetapi juga dengan penuh kasih sayang kepada para sahabat dan umat Islam yang mengikuti langkah beliau. Setiap perintah yang beliau berikan, setiap nasihat yang beliau sampaikan, adalah untuk memastikan bahwa umat ini tidak akan tersesat setelah beliau pergi.
Ketika tiba hari kedelapan Dzulhijjah, nabi dan rombongannya melangkahkan kaki menuju Mina. Di sana nabi berhenti dan melaksanakan salat lima waktu dari Dhuhur hingga Subuh, bahkan beliau menetap di sana sampai terbit fajar hari Arafah.
Setibanya di Mekkah, Rasulullah menunaikan ibadah haji dan memperlihatkan kepada umat Islam cara-cara ibadah haji (manasik) dan dijarkan pula kepada mereka sunah-sunah haji.
Ketika sampai di Padang Arafah, Rasulullah menyampaikan pidato dengan suara yang menggema,
أيها الناس، اسمعوا قولي، فإني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا بهذا الموقف أبدا
“Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku, karena aku tidak tahu apakah aku akan bertemu dengan kalian setelah tahun ini di tempat ini.”
Kata-kata ini seolah ingin mengungkapkan perasaan beliau, yang menyadari bahwa ini adalah kali terakhir beliau akan berbicara di hadapan umatnya dalam kesempatan yang begitu besar. Di hadapan umat yang penuh dengan semangat itu, beliau menegaskan beberapa pesan penting.
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, seperti haramnya hari ini, bulan ini, dan negeri ini.”
Beliau juga mengingatkan tentang hak-hak wanita,
“Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita, kalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah.”
Khutbah Nabi Muhammad di Arafah itu begitu panjang. Namun dipungkasi dengan perkataan berikut:
أيها الناس، إنه لا نبيّ بعدي، ولا أمة بعدكم، ألا فاعبدوا ربكم، وصلوا خمسكم، وصوموا شهركم، وأدوا زكاة أموالكم، طيبة بها أنفسكم، وتحجون بيت ربكم، وأطيعوا أولات أمركم، تدخلوا جنة ربكم
Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada lagi Nabi setelahku, tidak akan ada umat setelah kalian. Maka ingatlah, sembahlah Tuhanmu, salatlah lima waktu, puasalah di bulan Ramadan, tunaikanlah zakat hartamu dengan itu, jiwa kalian menjadi suci. Berhajilah ke Rumah Tuhanmu. Taatlah pada pemimpinmu dan masuklah ke dalam surga Tuhanmu.
Setelah menyampiakan ujung khutbah tersebut, nabi meminta kepada para sahabat yang hadir untuk bersaksi, bahwa mereka telah menerima semua risalah nabinya. Kesaksian para sahabat itu nampaknya diterima oleh Allah SWT.
Setelah itu, turunlah surat al-Maidah ayat 3.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ، وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي، وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini, Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3).
Umar bin Khattab yang mendengarnya pun meneteskan air mata. Saat ditanya alasannya menangis, Umar menjawab bahwa ia memahami betul bahwa setelah kesempurnaan ini, hanya akan ada kekurangan. Umar sadar bahwa ia akan kehilangan Nabi yang dicintainya.
Perpisahan itu pun datang. Haji Wada menjadi simbol dari perjalanan panjang Nabi SAW dalam menyebarkan Islam, dan juga menjadi titik akhir dari hidupnya di dunia ini. Namun, warisan yang beliau tinggalkan tidak akan pernah pudar. Haji Wada bukan hanya perjalanan fisik, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengajarkan kita untuk hidup dengan penuh ketulusan, pengorbanan, dan ketaatan pada Allah.