Dalam agama Islam, konsep “syukur dalam lapang, sabar dalam sempit” merupakan prinsip penting yang sangat ditekankan dalam ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Prinsip ini mencerminkan sikap yang ideal dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan, baik yang menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan.
1. Syukur dalam Lapang
Syukur adalah bentuk penghargaan dan terima kasih kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Dalam Islam, syukur tidak hanya berarti mengucapkan terima kasih, tetapi juga mengakui dan memanfaatkan nikmat tersebut dengan cara yang sesuai dengan syariat.
Ibnu Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakirah Asy-Syakirin mengemukakan bahwa syukur kepada Allah adalah memuji Allah atas nikmat yang telah diberikan dengan mengakui dalam hati, memuji dengan lisan, serta memanfaatkan nikmat dalam ketaatan dengan menggunakannya untuk beribadah bukan untuk bermaksiat.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim:7)
Rasulullah SAW juga mengajarkan tentang bersyukur melalui sabdanya:
مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ
Artinya: “Barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud)
Dalam konteks ini, bersyukur berarti menggunakan segala nikmat yang diberikan Allah untuk kebaikan, membantu sesama, dan tidak terjerumus dalam sifat sombong atau kufur nikmat. Syukur dalam keadaan lapang menciptakan rasa puas dan bahagia, serta mendekatkan diri kepada Allah.
2. Sabar dalam Sempit
Sabar adalah kesabaran dan ketahanan dalam menghadapi cobaan dan kesulitan. Dalam Islam, sabar dianggap sebagai salah satu karakteristik orang yang beriman. Kesabaran adalah sikap yang diperintahkan Allah dalam menghadapi kesulitan hidup dan tantangan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Sabar juga telah termaktub dalam hadits. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya besarnya pahala disertai dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Barangsiapa yang ridha, maka dia akan mendapatkan keridhaan Allah, dan barangsiapa yang marah, maka dia akan mendapatkan kemurkaan Allah.” (HR. Tirmidzi)
Sabar dalam sempit mencakup kemampuan untuk tetap tenang, berdoa, dan terus berusaha meskipun dalam keadaan sulit. Kesabaran dalam Islam bukan hanya tentang menunggu dengan pasrah, tetapi juga tentang mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengatasi kesulitan sambil tetap menjaga keimanan dan ketenangan hati.
Kaitan antara Syukur dan Sabar
Keduanya, syukur dan sabar, saling melengkapi. Syukur dalam keadaan lapang membuat seseorang lebih bersyukur atas segala nikmat dan lebih dekat kepada Allah, sedangkan sabar dalam keadaan sempit mengajarkan ketahanan dan kepercayaan pada rencana Allah. Keduanya membentuk karakter seorang Muslim yang kuat dan beriman, membantu mereka menghadapi kehidupan dengan penuh harapan dan tawakal. Bahwa sabar adalah setengah bagian dari iman, sementara setengah bagian yang lain adalah syukur.
Terkait relasi syukur dan sabar yang diharapkan keduanya jadi pedoman dalam kehidupan seseorang, Nabi menyatakan, “Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mukmin sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya,” (HR. Muslim).